Kamis, 21 April 2016

Movie Review: SUPERMAN vs BATMAN (basi lah pilemnya) -- tulisan ini telah dipublikasikan di FB

Review Film: Oalaaa....SUPERMAN v BATMANNNN!

Ada 2 hal. Pertama, sbage hiburan, [buat saya] pilem ini gagal blas!! Membosankan habis. Seperti mau memasukkan air laut kedalam ember...dipaksakan. Begitu membosankan sampai salah satu teman saya kluar sebelum pilem bubar, dan memilih cuci mata di Debenhams, Senci. Satu2nya scene dimana saya merasa terhibur hanya pas Batman menyelamatkan Martha, maknya 'S' lalu bilang "saya teman anakmu." Dan dijawab "Iya, saya tau...kelihatan dari kostumnya." Hahahahaha........kalau ini pelem kumedi pasti ditambah, "kalian jahitnya bareng yaa?....koq cuttingnya mirip?".

Nah, Kedua..TAPI, kalau mau melihat pilem ini sebagai sebuah objek Media Culture, sebagai sebuah "media" dari sutradara/produser untuk menggambarkan sebuah budaya sosial, malah jauhhhh lebih menarik. Douglas Kellner - Kritikus Media & Budaya dari Columbia University mengatakan: Cultural Industries (film, music) produce specific artifacts that reproduce the social and discourse which are embedded in the key conflict and struggles of the day.
Dan, perhatikan saja. Hampir semua text/dialog/peran/gambar/CAMERA angle pada film ini mengandung sindiran atau simbolic interactionsm. Berikut yang saya ingat [mumpung masih gress...he he]

Sebelumnya saya ingatkan dulu bahwa film ini disutradari oleh Zack Synder, ia juga termasuk penulis cerita. Dan istrinya, Deborah Synder adalah produser film ini.
- Pemilihan Jesse EIsenberg (Lex Luthor) penguasa baru dunia yang cupu, lugu tapi licik, beringas dan psikopat. Anda tau kan siapa Jesse ini? Yup.."Mark Zuckerberg" - Social Network. Difilm ini Lex punya tangan kanan yaitu seorang.....wanita chinese. Synder seperti sedang mengatakan: Yes folks, i'm talking about Mark Z here!.

Disebuah adegen pesta socialita yang digelar Lex,....ia tampak begitu akrab dan karib dan "nyantaiii abeshhh" ke para pejabat, miliuner dan senator. Saya senang gaya ia menyapa: "Governooorr......haaaa........iiii". Pasti Synder sedang menyindir Zuckerberg yang begitu 'berkuasanya' sampe ketemu presiden-presiden aja cuek bebek...pake T-Shirt dan hahahihi. - jangan lupa, pendiri FB ini konon lebih berkuasa dari presiden US lho....

- Sindiran Synder kepada media abad ini yang tak lelahhh menyebarkan berita horor dan teror. Seperti kata Bruce Wayne aka Batman, "sebenarnya masih ada orang baik, tapi semua kekejaman yang dilihat (dimedia) merubah orang orang baik menjadi jahat....." Atau debat C.Kent dengan Pimrednya soal fungsi media yang tak lebih dari pencari sensasi tanpa peduli kepentingan orang banyak.

Menarik juga bagaimana film ini menyindir wartawan sekarang yang menganggap berita semacam olahraga udah "kalah pamor" dari berita politik dan skandal..

-...diantara semuanya itu, sindiran terhadap agama/pemeluk agama bahkan sindiran kepada Tuhan penuh dispanjang film ini. Superman yang disebuh tuhan (god) oleh lex...(walau mungkin maksudnya dewa...but you know lha..it's a symbolic text) seperti dijadikan bulan bulanan. Bahwa kebaikan yang 'seakan-akan' dibawa/dilakukan oleh tuhan koq berujung pada kematian orang orang (ini pasti sedang menyindir perang atas nama Tuhan), bahwa tuhan adalah ilusi! Kebenaran yang sesungguhnya adalah perbuatan baik (sindiran terhadap New Age Christian yang sedang marak di US).

- Lalu, angle pengambilan gambar 'S' seperti muncul dari langit diantara awan dan orang orang (beraut wajah putus asa) raise their hands towards him....adalah satire tentang pesan The Second Coming Kristus di Alkitab. Tentang pertanyaan 'if god is so good, kenapa dibiarkan banyak orang jadi korban karena dia' -- tentu dikonteks film ini god yg dimaksud adalah 'S' - tapi stetmen itu adalah pertanyaan yang berulang ulang diteriakkan manusia diseantero planet bumi saat ini.

Juga saat 'S' menolong seorang anak (kaya indian), lalu penduduk desanya (ada yang mukanya kaya topeng setan, ada yg kaya lg kesurupan, laki laki, perempuan, anak anak) mengerubungi dan mengelilingi 'S' berusaha menjamah tuhan berbaju biru ini. Mengingatkan saya pada adegan Passion of Christ. - bisa jadi film ini dikeluarkan memang sengaja deket2 paskah kali ya?---
Mengingatkan saya juga kata2 Lex Luthor disatu scene:

"god (of gotham) can't kill the son (of Man). But, evil can" - dan memang the son of man (dari krypton) ini akhirnya mati diakhir film. Jika anda perhatikan baik2, saat 'S' mati ada 3 salib jauh diblakangnya. Dan langit yg gelap mirip golgota. - mungkin Synder ingin membuat versi cerita lain dari Good Friday yang sesungguhnya, yang sedang diperingati saat film ini mulai2 tayang. Entahlah. [kalo kata orang medan...sukak sukak kau lah]

- Lalu saat terjadi perang antara pasukan 'god' (of gotham) vs centeng bersenjata Lex yg dipimpin anakbuahnya si Rusia...juga adalah simbolic perang Armageddon pada akhir jaman. Perhatikan pada scene ini tiba2 bermunculan bala tentara terbang2 dari langit...bersayap hitam.

- Terakhir, adalah penutup film ini. Lex yang mulai nyata gilanya tiba2 koq bernubuat tentang The Second Coming. Script, text Lex Luthor benar2 adaptasi dari The Book of Revelation (Alkitab) tapi diplintir abis. Jika Anda baca, halaman dan kalimat terakhir Kristus pada Alkitab adalah: "I am coming, soon". Dan tanda2 menjelang kedatangannya, dikitab ini adalah sangkakala yang akan mulai dibunyikan. Lex tidak menyebut "trumphet" (sangkakala), ia memlintirnya menjadi "bell". Dan tentu saya yang dimaksud Lex "coming soon" itu bukan Tuhan, tapi setan dan para penghancur bumi.

Zack Snyder, lahir dan dibesarkan dilingkungan Scientology Church [If you know what it is....you'll understand mengapa saya mengatakan sangat menarik mengamati film ini secara media culture].

Jumat, 04 Maret 2016

Marxisme Pada Media dan Budaya [Bag 2]



IDEOLOGI

Ideologi dalam pendekatan Marxist, merupakan kesadaran palsu [false conciousnes ]yang diciptakan oleh kelas dominan dan merupakan nilai-nilai yang diciptakan oleh kelas yang memiliki dan yang mengontrol media, yaitu kelas dominan.

Althusser – salah seorang penganut Marxist dari Prancis, kemudian hari menolak pandangan dari Marx yang menuding ideologi sebagai kesadaran palsu. Menurut Althusser, ideologi merupakan media penyambung dari pengalaman kita tentang dunia.

Penganut teori ideologi marxist lainnya adalah Valentin Volosinov. Sepandangan dengan Marx, ia berpendapat bahwa segala teori tentang ideologi pada dasarnya tak lebih dari sebuah  konsep ABSTRAK tentang kesadaran akan adanya  keberadaan   material yang sifatnya metafisik. 

Lalu bagaimana tentang MEDIA? Adakah menurut Marx ia juga sebuah bagian dari upaya menanamkan "kesadaran palsu"?

Media, menurut Marxist adalah alat dan instrument untuk mempertahankan status quo sebuah kelompok termasuk kelompok pemilik media sendiri.  Hal ini tentu berbeda dengan asumsi dari Paham Liberal bahwa media adalah wadah untuk menampung ide ide dan gagasan.  Media massa dalam pandangan Marxist adalah bagian dari Suprastruktur [semua produksi yang bersifat NON materiil, seperti halnya ide, dogma, agama] yang dimiliki oleh kaum borjuis demi kepentingan kelas mereka saja.  Atau sering juga disebut Ideological State Apparatus. Sementara State atau negara sendiri adalah MESIN represi yang menjamin kelangsungan keberadaan kaum borjuis atau kaya.  Fokus dari suprastruktur tersebut ujung ujungnya adalah materiil [uang dan kekuasaan] yang datang dengan menjual iklan atau meraup sebanyaknya jumlah audiens. 

 [BERSAMBUNG]

Rabu, 17 Februari 2016

Marxisme Pada MEDIA & BUDAYA [Bag 1]



[tulisan ini adalah bagian dari makalah akademis pada paskasarjana UPH]
----------


MARXISME PADA MEDIA DAN BUDAYA

Jika Hegel memandang bahwa perkembangan sejarah manusia ditentukan oleh perkembangan gagasan atau ide (deterministic gagasan/abstrak) maka Marx berpegang pada segala sesuatu yagn sifatnya materiil.  Karl Marx sendiri adalah seorang Economic Theorist pada awal abad ke-10. Fokusnya adalah pada relasi antara kehidupan sosial politik dengan kekuatan ekonomi. 

Bagi Marx segala sesuatu yang sifatnya immaterial seperti konseptual, gagasan, bahkan kepercayaan (agama) adalah sesuatu yang semu belaka.  “Tidak ada gunanya ide bagus, demokrasi dan musyarakat selama perut kaum miskin masih lapar,” demikian kurang lebih gagasan dasar yang membuat Marxist menolak deteriministik ide ala Hegel dan menggantinya menjadi Deterministik Materiil (produksi) ala Karl Marx. 

Ketika memandang sejarah peradaban manusia, maka Marx membaginya dalam empat tahapan dimana puncaknya adalah komunisme: 

Pertama, masyarakat feodalisme, dimana faktor-faktor produksi berupa tanah pertanian dikuasai oleh tuan-tuan tanah.
 
Kedua, pada masa kapitalisme hubungan antara kekuatan dan relasi produksi akan  berlangsung, namun karena terjadi peningkatan output dan kegiatan ekonomi, sebagaimana feudalisme juga mengandung benih kehancurannya, maka kapitalisme pun akan hancur dan digantikan dengan masyarakat sosialis

Ketiga, masa sosialisme dimana relasi produksi mengikuti kapitalisme masih mengandung sisa-sisa kapitalisme, dan

Keempat, pada masa komunisme, manusia tidak didorong untuk bekerja dengan intensif uang atau materi.

Didalam masyarakat, pertentangan atau konflik menurut Marx terjadi karena adanya perebutan kepentingkan antara kelas borjuis yang pada akhirnya menggilas kelas buruh atau proletar.  Itu sebabnya ia mengusulkan ‘Masyarakat Tanpa Kelas’ sebagai sebuah jalan keluar menunju kesejahteraan. 

Sementara pada Liberalisme, perbedaan klas sama sekali tidak dilihat sebagai sebuah konflik. Perbedaan lebih diartikan sebagai sebuah persaingan. Sesuatu yang wajar, karena “berbeda adalah wajar” karena setiap kelompok atau klas memiliki fungsi yang khusus didalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan seperti ini disebut dengan “Functionalist Model of Society”. Jadi, kaum buruh misalnya memang berfungsi sebagai pekerja. Lalu, mereka yang memiliki modal sebagai tuan/management, aparat sebagai penegak hukum, media sebagai watchdog dan sarana informasi dan seterusnya. Keseluruhan bagian ini menyatu (kohesif) dan bergerak secara parallel dalam sebuah system sosio-budaya.  Seperti disebut diatas, konsep Functionalist model ini ditentang oleh Marx karena akan menimbulkan konflik didalam masyarakat.

Selain soal perebutan kepentingan antara kelas, konflik dalam paham Marxist juga bisa terjadi karena klas dominan dalam rangka mempertahankan kekuasaannya akan berusaha ME-LEGITIMASI ide dan nilai-nilai mereka.  Ide dan nilai yang dilegitimasi ini disebut IDE-OLOGI. Dengan kata lain,  IDEOLOGI (seperti Pancasila atau Demokrasi) bukanlah sesuatu yang luhur didalam pandangan Marxis.  Ideologi tak lain dari sebuah pemahaman yang semu, yang sengaja dipropagandakan oleh klas tertentu untuk memperkuat posisinya.

 Nah, ideologi seperti ini yang terus menerus dicekoki kebenak masyarakat oleh kelompok penguasa untuk mempertahankan status quonya. Logikanya adalah, untuk berkuasa maka klas dominan membutuhkan MASSA. Untuk mencapai massa, mereka membutuhkan sebuah MEDIA. Inilah yang melahirkan media massa, yakni sebagai alat klas dominan. 

[BERSAMBUNG]

Kamis, 11 Februari 2016

SOCIAL MEDIA ADDICTION IS A BIGGER PROBLEM THAN YOU THINK

Artikel ini sangat bagus, dan harus jadi referensi serta bahan pemikiran kita semua...manusia modern yang hidup dan "berkubang" dalam dunia serba digital.

I do think that Social Media has somehow degrade our life.....

Happy Reading.

[Tulisan ini saya ambil dair http:http://www.computerworld.com/article/3014439/internet/social-media-addiction-is-a-bigger-problem-than-you-think.html]



================ 

Social media addiction is a bigger problem than you think


By Mike Elgan


Social networks are massively addictive. Most people I know check and interact on social sites constantly throughout the day. And they have no idea how much actual time they spend on social media.

If you're a social media addict, and your addiction is getting worse, there's a reason for that: Most of the major social network companies, as well as social content creators, are working hard every day to make their networks so addictive that you can't resist them. --- Ingat Ingat!!!!

Meetings are made more productive by digital 'whiteboards' that you can write on and interact with. We
Cornell Information Science published research earlier this month that looked at (among other things) the difficulty some people have in quitting Facebook and other social networks. They even have a label for the failure to quit: "social media reversion."

The study used data from a site called 99DaysofFreedom.com, which encourages people to stop using Facebook for 99 days.

The site and study are interesting because they revealed the difficulty people have quitting Facebook because of addiction. Participants intended to quit, wanted to quit and believed they could quit (for 99 days), but many couldn't make more than a few days.

The addictive aspect of social networking is associated with FOMO -- fear of missing out. Everyone is on Facebook. They're posting things, sharing news and content and talking to each other 24/7.
The network effect itself is addicting, according to Instagram software engineer Greg Hochmuth, as quoted by The New York Times. (A network effect is the idea that any network becomes more valuable as more people connect to that network. The phone system is the best example of this phenomenon -- you have to have a phone because everybody else has a phone.)

In fact, Hochmuth and artist and computer scientist Jonathan Harris created a web experience called Network Effect. The site simulates the experience of browsing through social media by giving you a feed of people engaging on various activities. Then, after a few minutes, the site won't let you watch anymore (for 24 hours) so you can experience the subtle withdrawal symptoms.

In the world of social networking, Facebook benefits most from network effect. Facebook happened to be the top social network when social networking busted out as a mainstream activity. Now, everybody's on Facebook because everybody's on Facebook. And even people who don't like the social network use it anyway, because that's where their family, friends and colleagues are -- and because of addiction.

The contribution of network effect to the addictive quality of web sites is accidental. But social sites are also addictive by design.

That notification number

One trick social networks use is a notification number, showing you the number of people at a glance who have mentioned or followed you.

Notification numbers appear on the app icon to draw you in, then on the top or bottom menu to draw you in further. They play the same psychological trick on you that clickbait headlines do -- they tell you that there's information you really want to know, but they don't tell you enough to satisfy.

A headline could say: "Patti LaBelle's Pies Are Selling for $40.99 on eBay."
But the clickbait version is: "You Won't Believe How Much Patti LaBelle's Pies Are Selling for on eBay" -- which, you'll notice is even longer.

Notification numbers work just like that. Seeing a red "3" on the Facebook notifications bar is like a clickbait headline: "You won't believe what three people have said about you." You've got to click or tap. It's compulsive. And over time, it becomes addictive.

The biggest tool in the social media addition toolbox is algorithmic filtering. Sites like Facebook, Google+ and, soon, Twitter, tweak their algorithms, then monitor the response of users to see if those tweaks kept them on the site longer or increased their engagement. We're all lab rats in a giant, global experiment.

The use of algorithms for making social streams increasingly addictive explains a lot. It explains why Facebook (which has been tweaking its addiction algorithm the longest) now gets more than a billion users a day. It explains why Google never let you turn off algorithmic stream filtering all the way. And it explains why Twitter wants to algorithmically filter feeds, despite the general objection of users.

The tweaking of algorithmic filters for addiction means that in theory social sites get more addictive every day, and that the sites are in a war for survival where only the most addictive sites will survive. Meanwhile, our innate human ability to resist this addiction doesn't evolve.

YouTube: The perfect cocktail of addictive ingredients

YouTube is addictive, too, especially for people under the age of 20 or so, who use YouTube as their main source of entertainment. Serial YouTube video clicking is akin to the compulsion to TV channel-surf. You flip through the channels endlessly because surely something better must be on right now. YouTube is like TV, but with a billion channels.

What habitual young YouTubers are watching is a key to understanding why it's addictive for them. Most of this watching involves videos where YouTube stars talk to the camera. Here's an example. Here's another. (Note how many viewers these videos are getting -- it dwarfs the audiences of any TV show.)
Shows like these trick the human brain into feeling like the YouTuber star is talking directly to the viewer, and makes the viewer feel like they have a personal relationship with the person in front of the camera.
Meanwhile, there's another Darwinian contest taking place. YouTube stars have learned how to speak in a way that grabs and holds the attention of the viewer. They've learned how to make their own on-screen personalities addictive.

It combines the innate human attraction for social interaction with a Darwinian contest among stars to master the art of attention-grabbing charisma plus the channel-surfing compulsion plus an addictive social networking element in the comments sections.

How to kick the habit

Social media addiction is real, and it can damage careers, degrade life and even harm relationships.
For most of us, though, we're simply being manipulated by the social sites and content creators to waste far too much time in a way that benefits them, not us.

The best solution I'm aware of is to visit social networking sites once per day. Schedule it. And keep track of how much time you're spending there.

Try it. And if you succeed, you're on your way to beating addiction without going cold turkey.
And if you can't stick to your once-a-day habit, well, it sounds like you've got an addiction problem.

I'll see you at group therapy

Recent Posts